Friday, July 30, 2004

16 Sumur Bor PDAM Ditutup (16 PDAM artesian wells closed)

Source: Pikiran Rakyat

BANDUNG, (PR).-
Meski kemarau baru terjadi beberapa minggu terakhir, namun dampaknya sudah mulai dirasakan terutama oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Bandung. Perusahaan itu terpaksa harus menutup 16 dari 25 sumur bor lokal karena tidak lagi menghasilkan air. Pelanggannya pun sudah mulai mengeluh kekurangan pasokan air.

Sementara itu, Direktur Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral (Dirjen GSM) Simon Sembiring menyatakan, pemanfaatan sumber air tanah di berbagai kota besar di Indonesia, masih belum memenuhi asas keadilan. Di satu sisi, golongan masyarakat kaya bisa dengan mudah mendapatkan akses air tanah dengan mudah dan murah, sebaliknya kalangan miskin justru memperolehnya dengan susah payah dan harus menebusnya dengan harga tinggi," ujar Simon, pada lokakarya "Kebijakan Nasional Air Tanah" di Auditorium Geologi Bandung, Kamis (29/7).

English Translation

Although dry just happened several last weeks, but his impact has begun to be felt especially by the Company of the Area of the Drinking Water (PDAM) the Bandung City.  The company be forced must close 16 from 25 local artesian wells because no longer produced the water. His customer then has begun to complain the lack of water supplies.

In the meantime, Director General Geologi and Mineral resources (the GSM Director General) Simon Sembiring stated, the utilisation of the source of the ground water in various cities in Indonesia, still not has filled the justice principle.  On the one hand, the rich group of the community was able easily to obtain ground water access easily and cheaply, conversely the poor circle precisely received him with great difficulty and must redeem him by the high price, said Simon, to the "National policy" workshop of the "Ground Water" in the Bandung geological Auditorium, on Thursday (29/7).


Penutupan sumur bor miliki PDAM, diakui oleh Humas PDAM Kota Bandung Meliana saat dihubungi "PR", kemarin. "Penutupan sumur bor itu tidak sekaligus tapi bertahap. Kini tinggal 9 sumur bor yang masih beroperasi, namun kapasitasnya terus menurun," ungkap Meliana, di ruang kerjanya.

Dia menjelaskan, sumur artesis yang di tempatkan di Bandung Barat dan Bandung Selatan, juga mengalami penurunan. Para pelanggan PDAM yang sumbernya dari sumur artesis, seperti masyarakat Cijerah, Holis dan sekitarnya sudah merasakan dampaknya.

Warga Cijerah, Dedi, mengungkapkan sudah dua hari ini air ledeng tidak ngocor. Kalaupun ada, waktunya tidak lama paling dua atau tiga jam saja. Ia berharap agar PDAM mengatasi masalah itu.

Hilangnya sumber air, menurut Meliana , lebih disebabkan oleh kerusakan lingkungan dan ditebangnya pohon-pohon besar di Kota Bandung. Sedangkan kawasan serapan air berubah fungsi menjadi gedung dan perumahan. Satu-satunya cara memenuhi kebutuhan air untuk 143.365 pelanggan di Kota Bandung, dengan cara memanfaatkan 12 sumber mata air dan air permukaan dari hulu Sungai Cisangkuy, Cikapundung, dan Cibeureum yang berada di Kab. Bandung. Kapasitasnya ditambah denga sumur artesis, PDAM masih bisa menghasilkan 2.500 kubik/detik.

"Angka ini masih bisa dibilang stabil meski di beberapa wilayah terpaksa harus digilir. Mudah-mudahan saja kemarau tidak berlangsung lama," ujar Meliana berharap.

Masalah manajemen

Lebih lanjut Dirjen GSM, mengungkapkan, contoh tidak adilnya pemanfaatan sumber-sumber air, adalah air bersih dengan harga murah yang dikelola PDAM, kebanyakan hanya diakses oleh mereka dari golongan menengah ke atas. Sebaliknya masyarakat dari golongan miskin dan tinggal di pedesaan, justru harus mendapatkan air bersih secara eceran dengan harga yang lebih mahal.

"Hal ini menjadi salah satu persoalan yang dihadapi dalam manajemen pemanfaatan air tanah ini," ujarnya.

Ia memaparkan, dari tahun ke tahun pengambilan air tanah terus mengalami peningkatan. "Lebih-lebih di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Denpasar, dll. Meningkatnya pengambilan air tanah untuk pemenuhan kebutuhan air, menimbulkan berbagai persoalan lingkungan dan sosial di berbagai tempat. Beberapa cekungan air tanah (CAT) yang telah mengalami hal seperti itu adalah di Jakarta, CAT Bandung, CAT Semarang-Demak, dan CAT Denpasar.

Sementara itu, Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Jabar Ismail Hasjim, memaparkan, bila tidak segera dilakukan pengendalian, pada 2013 luas zona kritis di CAT Bandung akan bertambah sebesar 60% atau sekira 9,8 km2. "Dengan asumsi pemanfaatan air bawah tanah oleh masyarakat dan industri tetap. Padahal pengambilan untuk kepentingan industri mengalami peningkatan lebih dari 30%/tahun,” katanya.

Oleh karenanya, kata Ismail, untuk zona kritis, pemulihan dilakukan dengan pengurangan debit pengambilan air bawah tanah sebesar 8%/tahun. Untuk zona rawan, dikurangi 5%/tahun dan penambahan resapan air ke dalam tanah 4%/tahun.