Tuesday, July 27, 2004

Pemprov Jabar Imbau Pemkot dan Pemkab (Re: Industrial Waste and Pollution in the Bandung Basin)

Source: Pikiran Rakyat

BANDUNG, (PR).-
Pemerintah Provinsi Jawa Barat (Pemprov Jabar) mengimbau Pemerintah Kota (Pemkot) dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bandung untuk tidak lagi mengeluarkan izin pendirian industri yang berkecenderungan menghasilkan limbah dan polusi di cekungan Bandung.

Dalam jangka panjang, Pemprov Jabar juga akan merelokasi industri-industri yang ada di sebuah wilayah yang masih memiliki lahan luas, yang dibangun sebagai zona kawasan industri. Namun demikian, pemprov mengaku tidak tahu tentang keberadaan penambangan liar emas di Kab. Bandung.

English Translation (Using Toggletext)

The West Javanese government of the Province (Pemprov West Java) appealed to the Government of the City (Pemkot) and the Government of the Regency (Pemkab) Bandung to no longer dismissed permission of the founding of the industry that berkecenderungan produced the waste and pollution in the Bandung basin.

In the long term, Pemprov West Java also would merelokasi available industries in a territory that still was having the area land, that was built as the zone of the industrial region. Nevertheless, pemprov claimed did not know about the wild existence of the mining of gold in Kab. Bandung.


Hal itu disampaikan Wakil Gubernur Jabar Nu'man Abdul Hakim kepada wartawan seusai Semiloka Penyusunan Rencana Strategis Jabar Selatan (macro strategic plan) di Hotel Horison Bandung, Senin (26/7). Nu'man dimintai pendapatnya tentang kritik pemerhati lingkungan bahwa Pemprov Jabar tidak tegas dalam mengatasi pencemaran di Sungai Citarum ("PR", 26/7).

"Pemprov Jabar sebetulnya sudah melakukan upaya apa pun untuk mengatasi masalah pencemaran di Sungai Citarum, sebagai salah satu bentuk kepedulian. Di wilayah hulu, kami pernah menggulirkan program di Wayang Windu. Kemudian di kawasan hilir yang dipenuhi industri, kami juga sudah melakukan berbagai tindakan," ungkap Nu'man.

Salah satu hasil yang mengemuka adalah pengakuan 25 dari 30 pengusaha di kawasan Soreang Kab. Bandung yang menyebutkan bahwa mereka memang membuang limbah dan polusi ke DAS Citarum. "Pertemuan itu dilakukan oleh Pemprov Jabar, Pemkab Bandung, dan Kementerian Lingkungan Hidup," katanya.

Namun demikian, tegas Nu'man, pihaknya sama sekali tidak mengetahui keberadaan penambangan emas liar yang disebut-sebut berada di Kab. Bandung dan membuang limbahnya ke Sungai Citarum. "Soal (penambangan) emas itu nanti akan diteliti dulu, sebab saya tidak mengetahuinya. Kami akan memanggil Dinas Pertambangan Provinsi Jabar. Demikian juga Pak Bupati (Kab. Bandung) juga akan ditanya," ujarnya.

Sementara itu, Asda Bidang Perekonomian yang sempat menjabat sebagai Kepala BPLHD Jabar, Lex Laksamana yang dimintai informasi oleh wagub, mengatakan lokasi penambangan emas itu di sekitar Pangalengan. "Tapi, bahan-bahannya diambil dari Pongkor (Kab. Bogor--red.)," jelasnya.

Relokasi

Nu'man mengemukakan, kawasan Cekungan Bandung sudah tidak bisa lagi menampung industri-industri yang polutif (menghasilkan polusi-red.)

"Kalau industri yang bersifat high technology dan memang sangat bagus, silakan di zona industri yang ada sekarang. Tapi yang jelas menghasilkan dampak buangan sampah, sehingga harus dipindahkan ke kawasan yang memiliki infrastruktur yang memenuhi persyaratan," ujarnya.

Kendati tidak menyebutkan kapan akan mulai dilakukan rencana relokasi itu, ia menyebutkan kawasan di Kab. Purwakarta, Kab. Cirebon, dan bahkan Kab. Majalengka sebagai pusat zona kawasan industri baru itu.

"Formatnya seperti Kawasan Industri Rungkut di Surabaya, Jawa Timur. Konsep kawasan industri terpadu sangat bagus, dan mungkin bisa kami terapkan di sini. Di masa depan, seiring pembangunan infrastuktur transportasi, kami juga berharap bisa muncul zona kawasan industri yang terpisah dari area lainnya," katanya.

Di sisi lain, Wakil Bupati Bandung Eliyadi Agraraharja menepis pandangan yang mengatakan Citarum tercemar penambangan liar emas. "Citarum itu tercemar oleh industri tekstil kan? Bagi mereka yang melanggar itu sudah dilakukan pidana corporate (sanksi pidana bagi perusahaan pelanggar--red.)," kata Eliyadi.

Ia mengatakan, semua pihak untuk mengetahui lebih dulu persoalan tentang DAS Citarum. "Yang berkompeten bicara untuk pencemaran di Sungai Citarum adalah Lembaga Ekologi Unpad, tempatnya di Jln. Sekeloa (Kota Bandung)," katanya.

Kandungan logam

Sementara itu, Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jawa Barat, Ade Suhanda mengakui, pihaknya belum memutuskan langkah darurat seperti apa yang akan dilakukan, untuk mengantisipasi ancaman penyakit seperti di Minamata, menyusul temuan tingginya kadar merkuri (Hg) di aliran Sungai Citarum.

"Kami memang belum tahu persis cara untuk menghilangkan kandungan logam berat kalau sudah masuk ke manusia, misalnya melalui ikan yang dikonsumsi masyarakat. Paling-paling kami hanya minta kesadaran bersama untuk saling menjaga kelestarian lingkungan," ungkapnya saat dikonfirmasi soal langkah BPLHD atas laporan tingginya kadar logam berat terutama merkuri di aliran Sungai Citarum, Senin (26/7).

Ade juga mengakui bahwa pihaknya sudah mendapat laporan soal tingginya kadar logam di sepanjang aliran Sungai Citarum dari beberapa lembaga penelitian. Bahkan menurutnya, BPLHD juga langsung melakukan pemeriksaan terhadap baku mutu air di Waduk Cirata, Juni bulan silam.

"Hasil pemeriksaan air yang kami lakukan di Waduk Cirata memang mengindikasikan bahwa kadar seng atau Zn dan mercuri atau Hg dalam ikan cukup tinggi," katanya.

Meski demikian, Ade membantah kalau pemerintah provinsi (pemprov) dinilai lamban dalam mengatasi masalah pencemaran Sungai Citarum. Karena menurutnya, pemerintah telah banyak melakukan berbagai upaya salah satunya adalah melakukan Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis (GRLK) di Hulu Sungai Citarum (Gunung Wayang).

Selain itu, pemprov juga sudah melakukan program kali bersih (proksih), lalu surat pernyataan kali bersih (super kasih), dan program penilaian peringkat kinerja perusahaan (proper). "Kami sebetulnya telah melakukan langkah-langkah konkret, hanya memang hasilnya belum seperti yang diharapkan. Disebabkan ternyata tingkat kerusakan lingkungan yang ada sudah parah," ungkapnya.

Ade juga menganggap kritik atas lambannya langkah pemprov tersebut adalah salah satu masukan untuk lebih meningkatkan kinerjanya dalam menangani Sungai Ciatrum ini. "Perlu diingat untuk mengatasi persoalan Citarum itu tidak hanya oleh BPLHD, tetapi dibutuhkan semua komponen masyarakat termasuk pers," ujarnya.

Selain melakukan penghijauan, pihak BPLHD juga melakukan laporan berkala bahkan pengecekan langsung ke lokasi. "Kami tidak hanya sendiri, tapi melakukannya dengan melibatkan perguruan tinggi seperti Unpad dan ITB," ujarnya.

Menyinggung soal tindakan tegas bagi para pelaku pencemaran, Ade mengungkapkan, pihaknya tidak akan main-main menyeret pelaku pencemaran ke pengadilan. Saat ini, setidaknya sudah ada tiga pabrik tekstil dan kimia yang mendapat vonis bersalah karena dinilai membuang limbah pabrik sembarangan.

Hal lain yang telah dilakukan yakni merealisasikan instalasi pengelolaan air limbah (IPAL) terpadu yang dikelola oleh PT Damba Intara. IPAL tersebut bisa mengolah limbah dari 40 perusahaan. "Memang belum bisa semua pabrik membuat IPAL terpadu, mengingat untuk membuat IPAL itu membutuhkan dana yang cukup besar. Namun nanti kami juga mengarah ke sana," katanya.

Wacana lain yang saat ini muncul terkait dengan penanganan kawasan industri yakni merelokasi kawasan industri ke Cipeundeuy Kab. Bandung seperti di Pulo Gadung Jakarta.

"Hanya persoalannya untuk merelokasi kawasan industri, membutuhkan dana yang tidak sedikit karena tidak hanya bangunan, namun juga orang juga teknologi," jelasnya.

Berdampak luas

Sementara itu, Kepala Badan Pengelola Waduk Cirata (BPWC) Eman Surachman, yang dihubungi secara terpisah mengungkapkan, efek pencemaran limbah yang mengandung logam berat di Sungai Citarum ternyata tidak hanya berdampak pada masyarakat setempat saja, tapi juga bisa berdampak pada masyarakat luas seperti Jakarta, Bogor, Bekasi, dan Tangerang (Jabotabek), serta Kota Bandung.

Hal itu bisa terjadi mengingat ikan yang dihasilkan dari Cirata itu dijual ke Jabotabek dan Bandung, padahal ikan tersebut dari hasil penelitian sudah mengandung logam berat.

"Ratusan ikan ton dari Cirata itu dijual dari petani ke bandar, kemudian oleh bandar disalurkan ke Jabotabek serta sebagian ke Bandung. Jadi, saya kira yang akan terkena dampaknya tidak hanya dari masyarakat di wilayah Cirata saja, tapi juga masyarakat yang mengonsumsi ikan dari Cirata, seperti masyarakat Jakarta dan Kota Bandung," katanya.