Friday, September 03, 2004

Cekungan Bandung Krisis Air ( Bandung Basin Water Crisis )

Source: Pikiran Rakyat

Akibat Perubahan Lahan Konservasi dan Penyedotan Air Tanah

BANDUNG, (PR),-
Kawasan Bandung Raya yang terletak cekungan Bandung (Bandung basin) terancam krisis air akibat pesatnya perubahan fungsi lahan konservasi menjadi kawasan permukiman maupun industri. Pada saat bersamaan, eksploitasi (baca, penyedotan) air tanah jauh lebih besar dibanding produksi air dari sejumlah daerah konservasi.

Krisis air paling parah setidaknya akan terjadi di kawasan Bandung Barat (Leuwigajah, Cibeureum dan Dayeuhkolot) dan Bandung Timur (Ujung Berung dan Rancaekek). Di kedua wilayah itu, air tanah tersedot habis-habisan oleh industri yang banyak berdiri di sana. Di sisi lain, akibat berubahnya fungsi daerah konservasi, produksi air tanah tidak sebanyak jumlah air yang disedot.

English Translation

Resulting from the Change and Tanah Water Suction in the conservation Land

Bandung, (PR),- the Bandung Region Great that was located the Bandung basin (Bandung basin) was threatened by the water crisis as a result of the speed of the change in the function of the conservation land became the settlement region and the industry. At the same time, the exploitation (read, suction) the ground water far more bigger compared to the production of the water from several areas of conservation.

The water crisis worst at least will happen in the Bandung region West (Leuwigajah, Cibeureum and Dayeuhkolot) and East Bandung (the Berung Tip and Rancaekek).
In the two territories, the ground water was consumed completely by the industry that often stood there. On the other hand, resulting from the change in the function of the area of conservation, the production of the ground water not totalling the number of waters that disedot.


"Industri-industri menyedot air secara berlebihan. Selain industri, rusaknya daerah konservasi akibat dibangun permukiman oleh pengembang, berperan sangat besar atas terjadinya krisis air," kata pakar Geologi ITB, Dr. Ir. A. Djumarna Wirakusumah, di Balai Kota Bandung, Kamis (2/9).

Cekungan Bandung, kata Djumarna, terdiri dari tiga cekungan air tanah (CAT), masing-masing CAT Bandung-Soreang, CAT Lembang, dan CAT Batujajar. CAT Bandung-Soreang memiliki potensi air tanah bebas (air tanah dangkal) sebesar 795 juta m3/tahun. Hal ini karena setiap tahun CAT Bandung-Soreang menerima limpahan (intake) air tanah 795 juta m3 dari sejumlah daerah resapannya.

Dari angka itu, 117 juta m3/tahun akan meresap menjadi air tanah tertekan (air tanah dalam). Dengan demikian, potensi air tanah CAT Bandung-Soreang sebesar 117 juta m3/tahun pada kedalaman 40 m-250 m.

Sementara, berdasar perhitungan Direktorat Tata Lingkungan Geologi dan Kawasan Pertambangan, kawasan Bandung Utara (KBU) menyumbang resapan air 107 juta m3/tahun. "Artinya, jika melihat luasan daerahnya, kawasan Bandung Selatan (KBS) memberikan resapan air tanah lebih besar dibanding KBU," tandasnya.

CAT Lembang mempunyai potensi air tanah bebas 164 juta m3/tahun dan potensi air tanah tertekan 16 juta m3/tahun. Sedang CAT Batujajar, yang terletak di sekitar Waduk Saguling, memiliki potensi air tanah bebas 66 juta m3/tahun dengan potensi air tanah tertekan 1 juta m3/tahun.

"Namun, kini pembangunan perumahan di Bandung Utara mulai bangkit kembali. Akibatnya, KBU sebagai daerah resapan air tanah beralih fungsi. Dampaknya, Cekungan Bandung bakal mengalami krisis air sangat parah," ujar Djumarna sambil menginformasikan, sebanyak 97 pengembang telah mendapat izin prinsip untuk membangunan perumahan di KBU.

Bandung utara

Berdasar aspek geologi lingkungan, daerah yang seharusnya paling dilindungi untuk menjaga suplai air tanah ke Cekungan Bandung adalah KBU. Sebab, KBU merupakan daerah resapan air tanah utama yang terbentang dari Jln. Setiabudi-Lembang ke arah barat hingga Padalarang.

Selain itu, lanjut Djumarna, kualitas air tanah di KBU juga harus dilindungi karena rawan pencemaran, karena muka air tanahnya tergolong dangkal --di sebagian tempat kurang dari 10 m dan permeabilitas tanahnya tergolong tinggi, yaitu 0,0001 cm/detik.

"Ironisnya, fakta di lapangan menunjukkan pembangunan di daerah ini paling berkembang pesat dibanding kawasan tengah dan timur. Ini menjadi penyebab krisis air di cekungan Bandung," ujarnya.

Adanya perubahan lahan di KBU, jelas menyulitkan pembangunan ruang terbuka hijau (RTH) sebagai tempat resapan air tanah dan tangkapan air secara alami, baik di barat, tengah, dan timur KBU.

Staf pengajar Departemen Planologi ITB Johnny Patta menambahkan, salah satu persoalan yang dihadapi Kota Bandung adalah manajemen air tanah. Hal ini, ditandai dengan berkurangnya cadangan air tanah serta menurunnya permukaan air tanah 0,42 m/tahun.

Untuk itu, harus ada larangan membangun di daerah yang lingkungan alamnya sangat sensitif. "Misalnya membangunan perumahan, harus di lokasi yang sesuai dengan rencana umum tata ruang (RUTR) dan rencana detail tata ruang (RDTR). Jangan membangun di lokasi yang lingkungan alamnya sensitif."