Thursday, October 14, 2004

90% Limbah Permukiman Dibuang ke Cikapundung (90% of Bandung settlement's waste thrown away to Cikapundung)

Source: Pikiran Rakyat

Bisa Gagalkan ”Cikapundung Bersih”

BANDUNG, (PR).-
Gerakan Cikapundung Bersih tidak akan berhasil selama permukiman di sekitarnya tidak dibenahi. Saat ini sekira 90% limbah dari permukiman langsung dibuang ke sungai yang membelah Kota Bandung itu. Karenanya, limbah permukiman di sekitar Cikapundung dan anak-anak sungainya mesti disalurkan ke beberapa kelompok bak penampungan komunal, sebelum diteruskan ke septictank raksasa atau instalasi pengolah air limbah (IPAL) di Bojongsoang.

English Translation

Could defeat ”Cikapundung Clean”

Bandung, (PR).-
the Movement Cikapundung Clean will not succeed in for the settlement around it being not straightened out. At this time approximately 90% the waste from the settlement at once was thrown away to the river that split the Bandung City. Because of this, the waste of the settlement around Cikapundung and tributaries him must be distributed to several communal groups of the reception basin, before being continued to septictank the giant or the installation of the waste water processor (IPAL) in Bojongsoang.


Pernyataan itu diungkapkan Sumpena dari Local Program Support Unit Western Java Enviromental Management Project (LPSU WJEMP) Badan Perencanaan dan Pembangunan Kota Bandung, saat acara "Lokakarya Kemajuan Pelaksanaan Kegiatan WJEMP" di Grand Hotel Lembang, Kab. Bandung, Rabu (13/10). "Cikapundung baru bisa bersih setelah limbah permukiman dikelola dengan baik. Tanpa itu, Gerakan Cikapundung Bersih dipastikan gagal," katanya.

Berkaitan dengan rencana itu, Sumpena mengatakan, WJEMP saat ini sedang melakukan visibility study dan pre design pembangunan saluran limbah, mulai dari Lebak Siliwangi di utara dan Jln. Soekarno Hatta (By Pass) di selatan. "Jadi, kelak tidak boleh lagi ada limbah dari permukiman yang dibuang begitu saja ke Cikapundung," katanya.

Namun Sumpena mengakui, untuk menata permukiman di sekitar Cikapundung bukan sesuatu yang mudah. "Pasalnya, tepat di kiri-kanan Cikapundung sudah dipenuni rumah. Karenanya tidak ada ruang lagi untuk menempatkan pipa-pipa saluran limbah yang terhubung ke bak penampungan komunal sebelum diteruskan ke IPAL Bojongsoang," katanya.

Sumpena juga memastikan, pembangunan pipa-pipa itu membutuhkan biaya yang sangat besar sehingga pembangunannya harus bertahap dengan menerapkan skala prioritas. "Kalau harus dibangun serentak di sepanjang Cikapundung, hal itu sangat sulit diwujudkan," katanya.

Diakui Sumpena, saluran air limbah di Kota Bandung sangat jauh tertinggal dibandingkan kota-kota di negara maju seperti di Jepang, Taiwan, dan Singapura. "Saluran limbah di sana yang terhubung ke septictank raksasa umumnya besar-besar, tidak seperti di Bandung, kecil-kecil sehingga mudah mampat. Ya, permasalahannya, negara-negara maju memiliki cukup uang untuk membangunnya, sedangkan kita tidak. Program WJEMP ini saja bisa berlangsung setelah melalui pinjaman dari Bank Dunia," katanya.

Ditambahkan Sumpena, kendala lain dalam mewujudkan sungai-sungai bersih di Kota Bandung adalah belum tersebarnya jaringan pipa air limbah ke seluruh penjuru Kota Bandung. IPAL Bojongsoang berikut saluran limbahnya hanya tersebar di Kota Bandung lama saja, yaitu sebelum ada pemekaran dengan wilayah Kab. Bandung pada 1986. Akibatnya, daerah-daerah seperti di Ujungberung, Gedebage, dan sekitarnya belum memiliki akses pembuangan limbah ke IPAL Bojongsoang. Walaupun mahal, seluruh penjuru Kota Bandung semestinya memiliki saluran limbah yang tersambung ke IPAL Bojongsoang.

Kasus pendatang

Sementara itu, ahli planologi ITB yang juga Pembantu Rektor IV Unisba Dr. Ir. Uton Rustan, mengatakan, semrawutnya penanganan lingkungan di Kota Bandung disebabkan tidak terkendalinya para pendatang. Mereka kerap membuat permukiman-permukiman ilegal yang ujung-ujungnya tidak ramah lingkungan.

Sebagai contoh, menurut Uton, di kiri-kanan Cikapundung itu sebenarnya tanah negara. Namun karena para pendatang yang tak terkendali itu membutuhkan permukiman, mereka akhirnya membangun di sana sehingga akhirnya mengklaim lahan tersebut sebagai miliknya. Ironisnya, Pemkot Bandung terus memungut pajak bumi dan bangunan (PBB) yang mengakibatkan yang dipungut semakin merasa memiliki legitimasi atas lahan yang ditempatinya.

Dikatakan Uton, fenomena seperti itu di Cikapundung mulai berlangsung sejak 1950. "Padahal, kalau pemerintah tegas terhadap mereka, permasalahan limbah di Cikapundung tak akan separah seperti sekarang. Jika sudah begini, ketika ada rencana untuk membangun saluran air limbah saja pemerintah sangat kesulitan karena ketiadaan lahan," katanya.