Wednesday, January 12, 2005

Kematian Ikan di 3 Waduk Kian Parah (The death of the Fish in 3 reservoirs Increasingly Serious)

Source: Pikiran Rakyat



BANDUNG, (PR).-
Kematian ikan dalam jumlah besar yang selalu terjadi sepanjang tahun di Waduk Saguling, Cirata, dan Jatiluhur, memaksa pemerintah pusat turun tangan untuk bekerja sama dengan Australian Centre for International Agriculture Research (Pusat Penelitian Pertanian Australia untuk Internasional - ACIAR). Pasalnya, penurunan pasokan ikan bisa berakibat fatal, seperti menimbulkan generasi IQ jongkok (intelektual rendah). Demikian dikatakan Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan (Disnakkan) Kab. Bandung, Ir. Ernawan Mustika, di kantornya, Selasa (11/1). "Kematian ikan di ketiga waduk itu terutama Saguling dan Cirata sangat tinggi baik di musim kemarau, pancaroba, maupun hujan. Adapun kematian ikan di Jatiluhur lebih sedikit karena airnya sudah tersaring lebih dahulu di Saguling dan Cirata," katanya.

English Translation

Bandung, (PR).-
the Death of the fish in large quantities that always happened year round in the Saguling Reservoir, Cirata, and Jatiluhur, forced the government of the centre to intervene to co-operate with Australian Centre for International Agriculture Research (the Australian Centre of the agricultural Research to International - ACIAR). His article, the decline in fish supplies could result in fatal, as causing the IQ generation jongkok (the low intellectual). Was like this it was said the Livestock Breeding Section Head and fisheries (Disnakkan) Kab.Bandung, Ir. Ernawan Mustika, in his office, Tuesday (11/1). The "death of the fish in the three reservoirs especially Saguling and Cirata very high both in the dry season, pancaroba, and rain." Adapun of the death of the fish in Jatiluhur more seldom has because of his water been refined beforehand in Saguling and Cirata, he said.


Berdasarkan hal itu, menurut Ernawan, pemerintah pusat (Departemen Kelautan dan Perikanan) dan ACIAR sudah sepakat untuk mengkaji secara menyeluruh ketiga waduk tersebut sejak 1 Desember 2004 lalu hingga 2007 mendatang. "Kerusakan ketiga waduk itu tidak hanya mengancam wilayah regional saja, tetapi juga nasional," katanya.

Menteri Kelautan dan Perikanan, katanya, sejak 3 Oktober 2002 melalui keputusan No. Kep.40/Men/2002 menetapkan Pulau Jawa dan Bali sebagai daerah terjangkit penyakit koi herves virus pada ikan mas dan koi (satu famili dengan ikan mas). "Padahal, 3 bulan sebelumnya yaitu Juli 2002, baru Pulau Jawa saja yang dinyatakan terjangkit," katanya.

Malah, katanya, penyakit itu saat ini sudah menyebar ke Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi. "Artinya, penyakit itu harus segera ditangani termasuk di Saguling, Cirata, dan Jatiluhur. Jangan sampai terus meluas," katanya.

Ia menjelaskan, kematian yang sangat tingggi disebabkan faktor kerusakan lingkungan, virus, dan arus balik. "Sebagai contoh, ikan mati oleh limbah di saat kemarau, mati oleh virus saat musim hujan, dan oleh arus balik ketika musim pancaroba. Bencana itu terus berulang setiap tahunnya," katanya.

Arus balik

Ernawan mengakui, kematian terbanyak biasanya terjadi saat arus balik. "Ketika hujan mulai turun, air di permukaan menjadi dingin sedangkan di dasar waduk tetap hangat. Perbedaan berat jenis menyebabkan air di dasar waduk yang bersuhu hangat naik ke atas sedangkan di permukaan turun. Padahal, air di dasar waduk itu penuh endapan limbah dan miskin oksigen sehingga kematian ikan dalam jumlah besar tak terhindarkan," katanya.

Bila terus dibiarkan, dikhawatirkan bakal terjadi kekurangan pasokan ikan, terutama bagi masyarakat di Cekungan Bandung. "Padahal, kualitas daging ikan merupakan yang terbaik dibandingkan lauk pauk lainya. Jadi, bukan mustahil, andaikan kematian ikan terus dibiarkan bakal menimbulkan satu generasi ber-IQ jongkok," katanya.

Dikatakan, rekomendasi penelitian pemerintah pusat dan ACIAR itu harus ditindaklanjuti oleh Pemprov Jabar dan pemerintah kabupaten tempat ketiga waduk itu berada. "Pemkab Bandung akan pro aktif untuk terus memantau setiap perkembangan penelitian, sehingga bisa langsung menindaklanjutinya tanpa perlu menunggu penelitian tuntas pada 2007 mendatang," katanya.

Sementara itu, Kepala Subdinas Penyebaran dan Perkembangan Disnakkan, Ir. H. M. Sudarwo, M.M., mengatakan penelitian kelak akan membahas berbagai hal termasuk kapasitas maksimal kolam jaring apung (KJA) di ketiga waduk tersebut. "Pasalnya merebaknya KJA yang terjadi seperti sekarang sangat besar pengaruhnya bagi kematian ikan," katanya.

Sudarwo mengatakan, jumlah KJA di Saguling mencapai 7.272 petak atau kelebihan sekira 4.000 petak dari jumlah ideal 3.000 hingga 3.500 petak sedangkan di Cirata mencapai sekira 39.000 petak atau kelebihan 27.000 petak dari jumlah ideal 12.000 petak. "Adapun jumlah ideal KJA di Jatiluhur hanya sekira 2.100 petak. Jatiluhur harus sedikit karena airnya digunakan sebagai air minum untuk warga Jakarta dan Bekasi," katanya.

Dijelaskan, pakan ikan yang mengendap di dasar waduk dan sudah membusuk akan naik ke permukaan air ketika terjadi arus balik. "Akibatnya, ikan pun keracunan dan akhirnya mati. Karena itu, pembatasan jumlah KJA merupakan suatu keharusan agar kematian ikan bisa diminimalkan," katanya.