Thursday, January 06, 2005

Tim Ahli Perkuat Penolakan Swastanisasi Pengelolaan Air (Expert reinforces refusal of privitisation of water management)

Source: Investor Daily Online



JAKARTA

Sidang pleno I Mahkamah Konstitusi (MK) tentang judicial review UU No 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA), Rabu (5/1) di Jakarta, memperkuat penolakan swastanisasi pengelolaan air minum.

Hal itu terungkap dari penjelasan dua ahli dari Malaysia dan Filipina.

Sistem swatanisasi air (komersialisasi air) semakin menjauhkan air dari masyarakat kurang mampu. Air harus tetap dikelola oleh pemerintah atau badan yang secara khusus menangani pengelolaan air.

"Air tidak boleh dijadikan sebagai barang dagangan, tetapi hendaknya pengelolaan bersifat tidak berorientasi keuntungan tetapi dana yang diperoleh dari konsesi diinfestasikan kembali pada infrastruktur," papar Charles Santiago, Tim Ahli dari Malaysia, dalam persidangan yang dipimpin Ketua Hakim Jimly Ashidiqi.

English Translation

JAKARTA


The plenary session i the Constitution Court (MK) about judicial review UU No 7 2004 about Water resources (SDA), Wednesday (5/1) in Jakarta, reinforced the refusal of privatisation of the drinking water management.

That was expressed from the explanation of two experts from Malaysia and the Philippines.

The system swatanisasi water (the commercialisation of water) increasingly kept away water from the community not more well-off. Water must continue to be managed by the government or the body that specially handled the water management.

"Water might not be made the merchandise thing, but preferably the management was not oriented towards the profit but the fund that was received from the concession diinfestasikan came to the infrastructure back," explained Charles Santiago, Expert Tim from Malaysia, in the meeting that was led by the Chairman Justice Jimly Ashidiqi.

Santiago mencotohkan, di Penang, Malaysia pengelolaan air diserahkan kepada sebuah otorita khusus. Tidak ada intervensi dari manapun, termasuk dari pemerintah. Namun, untuk menjaga kualitas diperlukan sikap masyarakat yang kritis tentang pengelolaan air tersebut. "Dalam penentuan kebijakan selalu melibatkan lembaga sosial. Lembaga tersebutlah yang memberikan masukan," papar Santiago.

Dengan kenyataan tersebut otoritas dapat mengurangi tingkat kehilangan air hingga 18%, serta mencapai efisiensi 99%. Bahkan, hingga saat ini Dewan Air di Malaysia berhasil menyisihkan keutungan 117 juta ringgit sebagai cadangan yang akan diinvestasikan kembali. "Terbukti dari survei di 40 kota dalam 28 negara, tarif terendah diberikan oleh otoritas Malaysia," kata Santiago.

Ia juga memberi contoh kasus di Bolivia. Pendistribusian air di negara tersebut sangat bergantung pada sikap kritis kelompok masyarakat. Semua pengelolaan air dilakukan secara transparan. Baik pemerintah, pengelola dan masyarakat. "Hal ini juga patut diperhatikan, dengan semakin terbuka dapat menghindarkan praktik korupsi," jelasnya.

Santiago memberi contoh lain. Menurut dia, di India perorangan dapat mengusai lahan di kali. Masyarakat setempat tidak terlalu mengindahkan konversi alamnya karena perhatian terhadap alam merupakan tugas dari pemerintah. "Yang jelas dengan komersialisasi air berarti yang dapat membeli saja yang mendapatkan air. Dan masyarakat kurang mampu tidak memiliki hak atas air yang sama," jelas dia.

Sementara itu, Ana Mae B Dolleton, Tim Ahli dari Filipina mengatakan, swatanisasi air di Filipina semakin menjauhkan hak harapan kebutuhan air masyarakat kurang mampu. Harga tarif air di Filipina, jelas dia, berkisar 3.000-5.000 Peso. Dan hanya masyarakat tertentu saja yang dapat membeli. Sedangkan masyarakat kurang mampu harus rela mencari alternatif lain.

Tidak hanya itu, lanjut dia, dengan adanya pengelolaan air swasta berarti hanya mengedepankan layanan kepada konsumennya saja, tidak kepada masyarakat umum. Perusahaan menjadi semakin tertutup dari akses data masyarakat. "Kalau mutu ditingkatkan otomatis tarif akan dinaikkan dan pelayanan juga tidak berubah lebih baik," tutur dia.

Masukan

Sidang pleno I MK Rabu, menurut Jimmly Ashidiqi selaku Ketua Tim Hakim MK dalam perkara tersebut, tetap meneruskan adanya masukan keterangan dari penggugat.

Jimmly menegaskan, kedua ahli tersebut tidak dihadirkan sebagai saksi ahli. Melainkan sebagai ahli pengelolaan air.

Sidang pleno kali ini merupakan lanjutan sidang panel satu dan dua pada Desember 2004.

Sebelum memutuskan judicial review terhadap UU SDA, hakim MK juga akan mendengar pendapat pemerintah dan dipekirakan membutuhkan sidang pleno sekali lagi.

Judicial review terhadap UU SDA dilakukan oleh Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan beberapa organisasi lainnya serta juga lebih dari 800 individu. Walhi, yang mewakili sekitar 16 organisasi, mengharapkan UU No. 7 Tahun 2004 tentang SDA segera dicabut.

Beberapa organisasi meminta agar pasal-pasal dalam UU No. 7 Tahun 2004 yang mengatur mengenai kesempatan pengusahaan air oleh swasta dihapuskan.