Tuesday, March 29, 2005

Masa Depan Air Murah Terancam Buram (Future of cheap water threatened by design)

Source: Kompas



Jakarta, Kompas - Masa depan pengelolaan air bersih yang terakses masyarakat miskin, khususnya di kota, terancam buram bila Mahkamah Konstitusi menerima utuh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air yang telah selesai melewati rangkaian persidangan uji materiil. Ketidakjelasan jenis pengelolaan air oleh swasta dan penjaminan pemenuhan kebutuhan sehari-hari masyarakat merupakan dua faktor yang mengancam.

Hal ini diperparah dengan tidak adanya sanksi hukum yang tegas bagi pemilik hak guna usaha dalam undang-undang (UU) tersebut. Bila terjadi pergeseran urutan prioritas penyediaan sumber daya air, sesuai perizinan awal, maka pemerintah dan pemerintah daerah yang mengatur kompensasi kepada pemakainya (Pasal 29 Ayat 5).

English Translation

Jakarta, Kompas - the Future of clean water management that was accessed by the poor community, especially in the city, was threatened by the design when the Constitution Court received intact number regulations 7 2004 about the Management of Water resources that was finished through the material series of the meeting of the test. Lack of clarity of the kind of the water management by private enterprise and the everyday guaranteeing of the fulfilment of the requirement of the community was two factors that threatened.

This was aggravated with the nonexistence of the firm legal sanction for the owner of the right for efforts in regulations (UU) this. When the shift in the place of the priority in the provisions of water resources, in accordance with beginning permission, happening then the government and the regional government that arranged compensation to his user (the Article 29 articles 5).


"Jelas ada privatisasi dalam UU tersebut, meskipun tidak disebut secara vulgar. Persoalannya, jenis privatisasi seperti apa tidak diatur," kata Wijanto Hadipuro, pengajar Program Magister Lingkungan dan Perkotaan Fakultas Ekonomi Universitas Soegijapranata Semarang, dalam diskusi publik UU Sumber Daya Air: Implikasinya bagi Publik, Kamis (24/3) di Jakarta.

Menurut dia, di dunia terdapat dua model privatisasi air, yakni model Inggris/Wales dan Perancis. Model Inggris menerapkan sistem swasta dapat memiliki kepemilikan saham secara penuh, sedangkan model Perancis bersifat partnership, di mana seluruh infrastruktur dan aset menjadi milik pemerintah. Namun, pemerintah dapat mensubkontrakkan beberapa jasa terkait pengelolaan air bersih.

Ketidakjelasan ini, lanjut Wijanto, dapat diartikan bahwa keduanya dapat diterapkan di Indonesia. Beberapa pengalaman membuktikan pengelolaan air oleh pemerintah akan lebih menjamin terakses, baik dari segi harga maupun distribusi. Sebaliknya, swasta yang mengutamakan keuntungan akan mengarahkan distribusi air kepada yang sanggup membayar.

Pembicara lain, Benny D Setianto, mengatakan bahwa pasal- pasal dalam UU Pengelolaan Sumber Daya Air tidak memperjelas jaminan ketersediaan air bagi semua orang. Begitu pula tidak ada mekanisme yang jelas bagaimana bila hak ulayat atas air di wilayahnya dapat dimenangkan bila dihadapkan dengan hak pemilik izin pengelolaan sumber daya air.

Dengan cara pandang UU yang cenderung mengesahkan sumber daya air dapat dikuasai seseorang/sekelompok orang, maka hal itu mendukung air sebagai komoditas. Padahal, seperti diatur dalam Pasal 5, negara wajib menjamin hak atas air bagi setiap orang untuk memenuhi kebutuhan minimum sehari-hari yang sehat, bersih, dan produktif. "Sayangnya pada pasal-pasal berikutnya tidak pernah ditemukan mekanisme yang hendak ditempuh agar jaminan negara itu dapat diwujudkan," kata Benny.

Untungkan pengusaha

Diuraikan Wijanto, isi UU Pengelolaan Sumber Daya Air yang diuji materiil memberi jaminan aman bagi pengusaha. Mereka dilibatkan dalam penyusunan pola pengelolaan sumber daya air, hak guna usaha air dijamin, penggunaan sumber air dijamin secara jelas berikut prioritasnya, dan tidak ada pasal yang mendorong secara rinci agar pihak pengelola mengutamakan kepentingan masyarakat.

Budi Wignyosukarto, pengajar pada Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, mengingatkan bahwa sebagian besar pengguna air di Indonesia adalah petani untuk irigasi sawah-sawah mereka. Dengan prioritas distribusi air yang bukan untuk irigasi, lanjut dia, bisa dipastikan bahwa petani akan kekurangan air untuk persawahan.

"Apalagi irigasi tidak memiliki nilai ekonomi yang signifikan," kata dia.