Wednesday, May 25, 2005

Plus-Minus Teknologi Penjernih Air (Plus-Minus of Water Purification Technology)

Source: Suara Pembaruan



Suara Pembaruan - 24 Mei 2005

MAJU kena mundur kena. Seperti itulah mutu air di Negeri ini. Bayangkan di musim hujan misalnya, air di berbagai sungai di Jakarta atau kota-kota lainnya terlihat sangat keruh. Lumpur dan erosi dari segala penjuru masuk ke sungai.

Begitu juga di musim berikutnya, kemarau. Air yang menyusut itu malah jauh lebih kotor lagi. Masyarakat dan industri sama-sama membuang limbah ke sungai. Jadilah air sungai tersebut kotor, bau, dan menyimpan aneka penyakit.

Semakin berat air itu tercemar kian mahal pula proses pengolahannya. Artinya, untuk air yang tidak terlalu keruh, pengolahan dapat dilakukan dengan proses penyaringan sederhana, bisa dilakukan individu maupun komunal.

English Translation

Advance be hit by retreated be hit by. Like that the quality of water in this Country. Imagined in the rain season for example, water in various rivers in Jakarta or cities other was seen very turbid. Mud and the erosion from all the corners entered the river.

Even so in the following season, dry. Water that shrank that was even far more again dirtier. The community and the industry together threw the waste to the river away.
Be this river water was dirty, was smelly, and kept various illnesses.

It was increasingly heavy that the water was most polluted increasingly also expensive the process of his processing. Meaning that, for water that was not too turbid, the processing could be carried out with the process of the simple screening, could be done by the individual and communal.


Jika kekeruhan cukup tinggi diperlukan unit penjernih yang memerlukan bahan kimia. Setelah melalui tangki penjernih, lalu disaring dengan sistem saringan pasir lambat atau cepat, tergantung kebutuhan.

Proses pengolahan air keruh dengan penyaringan mempunyai keunggulan, murah dalam pemeliharaan dan perawatan, serta teknologinya cukup sederhana. Teknologi ini banyak dipakai di pedesaan.

Persoalan yang sering dihadapi berupa buntunya saringan pasir. Namun, dengan perkembangan baru, sistem saringan diubah dan proses pemeliharaan dapat menjadi lebih sederhana dan murah.

Teknologi Saringan Pasir Lambat (Sarpalam) yang banyak diterapkan di Indonesia biasanya adalah tipe konvensional dengan arah aliran dari atas ke bawah (down flow).

Kelemahannya, jika kekeruhan air baku naik, terutama pada waktu hujan, sering terjadi penyumbatan pada saringan pasir, sehingga perlu dilakukan pencucian secara manual dengan cara mengeruk media pasirnya dan dicuci. Setelah bersih dipasang lagi seperti semula, sehingga memerlukan tenaga yang cukup banyak.

Hal inilah yang sering menyebabkan Sarpalam kurang berfungsi dengan baik, terutama pada musim hujan. "Dengan demikian, agar beban Sarpalam tidak telalu besar, perlu dilengkapi dengan peralatan pengolahan pendahuluan misalnya bak pengendapan awal atau saringan up flow dengan media berikil atau batu pecah, dan kuarsa atau silika," imbau Arie Herlambang.

Selanjutnya dari bak saringan awal, air dialirkan ke bak saringan utama dengan arah aliran dari bawah ke atas (up flow). Air yang keluar dari bak saringan pasir tersebut merupakan air olahan dan dialirkan ke bak penampung air bersih, selanjutnya didistribusikan ke konsumen dengan cara gravitasi atau dengan memakai pompa.

Jika saringan telah jenuh dan buntu dapat dilakukan pencucian balik dengan cara membuka keran penguras. Dengan adanya pengurasan ini, air bersih yang berada di atas lapisan pasir dapat berfungsi sebagai air pencuci media penyaring (back wash). Dengan demikian, pencucian media penyaring pada Sarpalam up flow dilakukan tanpa mengeluarkan atau mengeruk media penyaringnya dan dapat dilakukan kapan saja.

Keunggulannya, pencucian media saringan (pasir) relatif mudah, serta hasilnya sama dengan saringan pasir konvensional. Kapasitas pengolahan dapat dirancang dengan berbagai macam ukuran sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan.

Untuk merancang Sarpalam, beberapa kriteria perencanaan yang harus dipenuhi, antara lain kekeruhan air baku lebih kecil 10 NTU. Jika lebih besar, perlu dilengkapi dengan bak pengen-dap dengan atau tanpa bahan kimia.

Lalu, tinggi lapisan pasir 70-100 cm, tinggi lapisan kerikil 25-30 cm, tinggi muka air di atas pasir 40-120 cm, tinggi ruang bebas antara 25-40 cm, diameter pasir kira-kira 0,2-0,4 mm, dan jumlah bak penyaring minimal dua buah.

Salah satu contoh unit pengolahan air dengan Sarpalam telah dibangun di Pesantren La Tansa, Lebak, Jawa Barat dengan kapasitas 100 m3/hari. Air baku yang digunakan adalah air dari saluran irigasi sekunder.

Air sungai dialirkan secara garvitasi melalui banguan penyadap ke dalam bak penenang pertama. Selanjutnya, air itu mengalir ke bak saringan awal dengan arah aliran dari bawah ke atas (up flow) dengan kecepatan pengaliran 16 m3/m2 hari.

Air hasil penyaringan dialirkan ke bak penenang kedua dan selanjutnya masuk ke bak saringan pasir kedua sistem aliran up flow dengan kecepatan penyaringan 5 m3/m2 hari. Air hasil penyaringan kedua tersebut ditampung di dalam bak air bersih, selanjutnya dialirkan ke kontaktor khlorine dan dialirkan ke konsumen.

Menurut Arie, keunggulan Sarpalam up flow adalah proses pengolahan yang sederhana, tidak mudah buntu, serta mudah dalam pembersihan dan perawatan. Kelemahannya, unit ini hanya bisa mengolah air dengan kekeruhan rendah. Jadi, jika kekeruhannya tinggi, memerlukan bantuan tangki penjernih sebelum air masuk ke dalam Sarpalam.