Monday, June 06, 2005

Air Tanah Turun Ambleskan Jakarta (Descending Groundwater in Jakarta)

Source: Kompas




Kompas - 02 Juni 2005

Jakarta, Kompas - Laju eksploitasi air tanah yang tak terkendali di wilayah Jakarta dan sekitarnya telah menyebabkan turunnya permukaan tanah dan tinggi muka air tanah, terutama di Jakarta Utara. Sebaliknya, curah hujan tinggi yang menyumbang banjir belum juga teratasi di beberapa kawasan, seperti Jakarta Pusat dan Jakarta Timur.

Informasi dari tim Manajemen Bioregion Bogor, Puncak, Cianjur (Bopunjur) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menunjukkan, dampak lain eksploitasi air tanah di Jakarta adalah terjadinya amblesan tanah hingga 30 sentimeter di Jakarta Utara.

English Translation

Kompas - June 02 2005

Jakarta, the Compass - the Rate of the exploitation of the ground water that was not controlled in the Jakarta territory and surrounding area caused the fall of the surface of the land and high the face of the ground water, especially in Jakarta North. On the other hand, the high rainfall that contributed the flood has not still been overcome in several regions, like Jakarta the Centre and Jakarta East.

Information from the team of the Management of Bioregion Bogor, the Peak, of Cianjur (Bopunjur) the Indonesian Science Agency (LIPI) showed, the other impact of the exploitation of the ground water in Jakarta was the occurrence amblesan the land to 30 centimetre in Jakarta North.


Meski belum ada data persis mengenai cara penghitungan dan proses terjadinya amblesan, eksploitasi juga disinyalir menyebabkan penurunan permukaan air tanah di kawasan yang sama hingga 30 meter.

Peta intrusi air laut yang diperoleh tim pun menunjukkan intrusi air laut mulai memasuki wilayah Provinsi Banten dan pinggiran Bekasi.

Sebelumnya, intrusi air laut "hanya" teridentifikasi di wilayah Jakarta Utara mendekati perbatasan Jakarta Barat sisi utara. Intrusi di Jakarta diperkirakan lambat menjalar ke arah selatan karena tipe lapisan tanah yang lebih keras.

Untuk mengurangi dampak lebih besar akibat eksploitasi air tanah tak terkendali tersebut, tim manajemen bioregion Bopunjur LIPI berupaya menempuh cara pengurangan dampak eksploitasi yang efektif. "Kami tengah mengidentifikasi wilayah yang berpotensi ’menyuntikkan’ air tanah," kata anggota tim yang juga peneliti di Pusat Penelitian Biologi kelompok ekologi M Noerdjito. Ia didampingi anggota lainnya, Ibnu Maryanto, saat diwawancarai di Jakarta, Rabu (1/6).

Penyuntikan air tanah merupakan sebutan tim untuk menggambarkan mekanisme mempercepat pengisian air tanah dari siklus air yang turun sebagai air hujan.

Selama ini, minimnya luasan kawasan terbuka dan resapan air menyebabkan volume air yang mengalir di permukaan tanah (run off) besar. Akibatnya, ketersediaan air tanah berkurang karena air tak terserap.

Pada saat bersamaan, jumlah sumur bor yang menyedot air tanah hingga kedalaman puluhan meter terus bertambah seiring tumbuhnya kawasan industri. Kondisi ini diperparah dengan kontrol yang lemah.

Sinyalemen tim manajemen Bopunjur berdasarkan lokasi amblesan tanah dan muka air tanah, kondisi tersebut terkait erat aktivitas industri seperti di kawasan Jakarta Utara, Tangerang, dan Bekasi. "Siapa yang bisa mengawasi keberadaan sumur bor yang menyedot air hingga puluhan meter itu?" kata Noerdjito.

Karena itu, upaya memperbanyak ruang terbuka dan resapan air, khususnya di kawasan bercurah hujan tinggi, amat diperlukan sebagai jalan keluar. Ini pun dinilai baru efektif bila didukung kebijakan pemerintah daerah seperti pemindahan lokasi industri.

Rekomendasi

Maka Manajemen Bopunjur merekomendasikan langkah- langkah konkret yang perlu diterapkan di beberapa daerah hingga tingkat kecamatan, di antaranya dengan menetapkan kawasan terbuka dan resapan air di tiap wilayah.

"Saat ini kami sedang mengidentifikasi wilayah yang dapat menjadi prioritas, khususnya wilayah dengan tipe tanah yang mudah tertembus air dengan curah hujan tinggi. Baru tahun depan kami dapat merekomendasikan penerapan hingga tingkat mikro, di kecamatan-kecamatan," lanjut dia.

Yang dinilai masih menjadi hambatan adalah tidak terdapat kesatuan konsep penanganan wilayah terbuka dan resapan air antarkawasan. Begitu pula di tingkat departemen, apalagi di kota/kabupaten.

Bahkan, kawasan karst (batu kapur) di Jabar bagian selatan yang berpotensi menyerap air hujan dan menyuntikkan air tanah, beberapa waktu lalu diizinkan untuk ditambang.

Selain amblesan tanah dan penurunan muka air tanah, kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) terus terancam banjir. Salah satunya akibat curah hujan tinggi hingga mencapai 300-400 milimeter seperti yang teridentifikasi terjadi di beberapa wilayah, di antaranya Jakarta Pusat dan Jakarta Timur, serta Jawa Barat selatan.

"Di kawasan tersebut semestinya diperbanyak ruang terbuka dan resapan airnya, bukan terus untuk hunian. Tidak heran kalau di Jakarta Timur sering banjir," kata Ibnu.

Hasil penelitian tim manajemen Bopunjur beberapa waktu lalu juga mengidentifikasi kecamatan-kecamatan penyumbang run off tertinggi, khususnya yang berada di kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung mulai dari Bogor hingga Jakarta.

Kecamatan-kecamatan itu, masing-masing Kecamatan Jagakarsa dan Tebet untuk Jakarta, Kecamatan Sukmajaya untuk Depok, Kecamatan Bogor Utara untuk Kota Bogor, dan Kecamatan Cisarua untuk Kabupaten Bogor.

"Untuk mengatasi banjir di Jakarta dan sekitarnya, selain kawasan Puncak yang juga harus diatasi adalah banyaknya aliran run off," kata dia.